Ilustrasi: Pasangan calon pengantin |
Penghulu Pertama KUA Sungkai Jaya
SALING
tertarik antar lawan jenis adalah fitrah manusia. Ketika sudah sama-sama
memiliki ketertarikan, jalan untuk mewujudkan kehidupan bersamanya adalah
dengan menikah. Dan sebelum menikah biasanya laki-laki dan perempuan mencoba saling
mengenal satu sama lain. Salah satu caranya yakni dengan melihat si calon alias
nadhor. Dimasa sekarang dimana interaksi dan pergaulan laki-laki dan perempuan sudah semakin
terbuka, masih perlukah nadhor?
Dari
beberapa diskusi tentang masalah pernikahan, pertanyaan tentang nadhor
masih sering muncul, masihkah relevan dengan kondisi saat ini ataukah
tidak. Apakah nadhor hanya berlaku bagi laki-laki saja atau juga berlaku
bagi perempuan? Penulis tertarik mengulas topik yang satu ini.
Dalam ajaran Islam, seorang laki-laki yang ingin
mengkhitbah atau melamar diperkenankan nadhor. Nadhor yaitu melihat, memandang atau memperhatikan (wanita) yang
ingin dinikahi, dengan kepalanya sendiri maupun dengan menyuruh orang lain. Dengan proses nadhor diharapkan timbul
keyakinan untuk melanjutkan atau justru membatalkan untuk menikahinya. Karena
dengan nadhor akan terlihat bentuk fisiknya, kecantikan, kehalusan atau
postur tubuhnya, termasuk hal-hal non fisik dari kedua belah pihak.
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أنّهُ خَطَبَ امْرَأةً فقَالَ النّبىُّ صَلَى
اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمْ اُنَظُرْ إلَيْهَا فَإنَهُ أحْرَى أنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُماَ
Artinya: “Dari Mughiroh bin Syu’bah bahwasanya ia telah mengkhitbah seorang perempuan, lantas Nabi saw.berbersabda, “Lihatlah perempuan tersebut, karena sesungguhnya itu akan dapat lebih mempererat diantara kalian berdua.” (HR. Ahmad).
Jelas sekali
dari hadits di atas, seseorang yang berkeinginan serius menikah diperintahkan
untuk melihat calonnya. Agar jelas orangnya juga kondisinya. Dengan adanya
kejelasan tersebut diharapkan tidak timbul keraguan, melainkan muncul
kemantapan hati. Tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Pendapat Ulama Mazhab tentang Nadhor
Sebagian
besar ulama dari empat mazhab berpendapat hukum dari nadhor adalah
sunnah. Sebagian lainnya berpendapat mubah, boleh saja.
Mazhab yang
mengatakan sunnah adalah mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian
Hanabilah (Hambali). Dasar dari kesunnahannya adalah dari hadits Mughirah di atas.
Sedangkan secara resmi mazhab Hambali berpendapat hukumnya boleh saja. Alasannya
karena menurut mereka perintah untuk melihat diberikan setelah adanya larangan,
sehingga perintah itu bukan menjadi sunnah, melainkan hanya kebolehan. Seperti
halnya perintah untuk mencari rizki seusai sholat jum’at, walaupun shighat-nya
dalam bentuk fi’il amar yang seharusnya menjadi kewajiban, tetapi karena
perintah itu datang setelah adanya larangan, maka hukumnya bukan wajib,
melainkan boleh.
Meskipun
disunnahkan atau setidaknya diperbolehkan melihat calon istri (atau calon suami),
namun bukan berarti boleh melihat calon dengan leluasa. Ada beberapa ketentuan
yang harus diperhatikan ketika nadhor, yaitu:
1. Adanya niat ingin menikahi.
Ketentuan
melihat si calon hanya bagi yang berniat ingin menikahinya saja. Sedang yang
sekadar iseng atau belum ada keseriusan di dalam hati untuk menikahinya, maka
dilarang untuk melihat. Bahkan jumhur ulama mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
mensyaratkan bahwa orang yang melihat calonnya sudah punya keyakinan bahwa ia pun
akan menerimanya.
Sementara
mazhab Hanafiyah tidak mensyaratkan hal tersebut. Mereka hanya membatasi adanya
keinginan (serius) untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal balik antara
keduanya.
2. Tidak harus seizin calonnya.
Tidak
ada ketentuan bahwa si calon yang akan dilihat harus memberi izin. Demikian
pendapat jumhur ulama. Bahkan kebanyakan ulama berpandangan sebaiknya dalam
melakukan nadhor si calon tidak diberitahu. Hal itu dimaksudkan agar
benar-benar tampil alami dimata yang melihat, sehingga tidak ditutup-tutupi
kalau ada kekurangannya. Sebab kalau dirinya tahu bahwa akan dilihat, kemungkinan
dia akan berdandan, mempercantik diri, bersikap manis, serta menutupi
kekurangannya, sehingga tujuan dari nadhor tidak tercapai.
Mazhab
Malikiyah berpendapat, kalaupun tidak harus ada izin dari wanita yang akan
dilihat, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu bertujuan agar jangan
sampai setiap laki-laki memandang wanita-wanita dengan bebas dengan alasan
ingin melamarnya.
Batasan dalam Nadhor
Dalam melihat
calon, ada batasan-batasan yang boleh dilihat dan mana yang tidak boleh
dilihat.
1. Bagian tubuh yang boleh dilihat.
Jumhur ulama
mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanafiyah sepakat bahwa wajah, kedua telapak
tangan hingga pergelangan tangan adalah batasan yang boleh dilihat oleh calon
suaminya. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka merupakan pusat dari kecantikan
seseorang, sedangkan telapak tangan bisa menandakan kesuburan badannya dan
kehalusan kulitnya. Selain itu kedua bagian tubuh tersebut bukan aurat.
Bagian
tubuh selain keduanya adalah aurat bagi wanita, sehingga melihat selain dua bagian
tersebut tetap diharamkan bagi calon suami. Namun ada pendapat dari mazhab
Hanafiyah yang menyebutkan bahwa kedua kaki hingga batas mata kaki bukan
termasuk aurat, sehingga boleh dilihat.
Adapun pengikut
mazhab Hambali memiliki dua pendapat. Sebagian ada yang megatakan hanya wajah
dan telapak tangan yang boleh dilihat. Namun sebagian yang lain membolehkan
melihat lebih dari itu, yaitu 6 (enam) anggota tubuh yang lain. Diantaranya wajah,
leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Karena menurut mereka melihat bagian
yang enam itu merupakan kebutuhan yang mendukung berlangsungnya kemantapan hati
untuk menuju pernikahan.
Pendapat yang
kurang populer dan cenderung kontroversial dikemukakan oleh mazhab Al-Auza’i,
dimana mereka membolehkan melihat bagian-bagian tubuh lain yang berdaging. Dan
dibolehkan melihat keseluruh badan (kecuali aurat utama) dari calon istri adalah
pandangan yang dilontarkan mazhab Zahiri.
Kedua pendapat diatas
berdasarkan hadis Nabi yang tidak menjelaskan batas-batas melihat ketika
meminang.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمْ إذَا خَطَبَ أحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ
فَإِنِ اسْتَطَاعَ
أنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إلَى مَا يَدْعُوْهُ إلَى
نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه احمد)
“Dari Jabir berkata; bahwa Rasulullah
pernah bersabda, Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, maka
bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya yang dapat mendorong untuk
menikahinya hendaklah ia melakukannya”. (HR. Ahmad)
Kalimat “bila
ia bisa melihat sesuatu dari padanya” dan “hendaklah ia melakukannya
[melihat perempuan itu]” menurut mereka bersifat mutlak.
2. Tidak boleh menyentuh kulit
Hal
lain yang harus diperhatikan ketika nadhor adalah tidak boleh menyentuh
kulit calon istri meskipun dalam rangka untuk menikahinya. Jumhur ulama
mengharamkannya. Mazhab Hanafiyah mengatakan tidak boleh seorang laki-laki menyentuh
wajah dan telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat. Mazhab
Hambali memperbolehkan menyentuh (berjabat tangan) jika umurnya sudah tidak
muda lagi, sedangkan jika masih muda maka diharamkan. Adapun menurut mazhab
Syafi’iyah sama seperti hukum menyentuh kulit pada umumnya, calon suami tidak
boleh menyentuh kulit si calon istri.
- Tidak
boleh berduaan
Meskipun
dianjurkan untuk melihat calon istri, namun tetap dilarang untuk melakukannya
hanya berduaan. Sebab berduaan dengan wanita yang masih belum halal menjadi
istri adalah perbuatan yang diharamkan.
- Boleh
mengirim utusan untuk melihat calon istri
Melihat bagian
tubuh dan menyentuhnya secara langsung memanglah diharamkan, namun jika ragu
dan ingin memastikan tidak ada yang cacat atau ada kekurangan yang kurang
disukai maka boleh mengirim utusan atau perwakilan. Pihak suami boleh mengutus
wanita yang menjadi mahramnya kepada calon istrinya untuk berkenalan dan mengetahui
langsung fisik maupun non-fisiknya.
Konon Rasullah
saw pun melakukan hal yang sama ketika akan menikahi salah seorang istrinya.
Beliau mengutus Ummu Sulaim dan meminta serta menilai calon istrinya.
Rasulullah saw berpesan:
شُمِّي عَوَارِضَهَا وَاْنظُرِي إلَى عُرْقُوْبِهَا
“Ciumlah aroma mulutnya dan perhatikan urqubnya
(tulang lunak diatas tumit atau betisnya).” (HR.Ahmad).
Itulah
beberapa ketentuan dalam nadhor yang terdapat dalam kitab-kitab fikih.
Dalam kondisi
saat ini dimana pergaulan sudah sangat terbuka, antara laki-laki dan wanita
bisa saling melihat dalam aktivitas sehari-hari masihkah relevankah nadhor?
Tentu saja masih. Sebab melihat lawan jenis tanpa tujuan dan melihat dengan
tujuan serius menikahi memiliki perasaan dan kondisi yang berbeda. Dengan nadhor
seseorang yang awalnya ragu-ragu bisa menjadi mantap hati, pun sebaliknya, yang
sebelumnya yakin ingin menikahi setelah nadhor tuidak sedikit yang menjadi
ragu bahkan mundur membatalkan diri.
Nadhor
sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi laki-laki saja, seorang perempuan pun
boleh melakukan nadhor. Apalagi dimasa sekarang, dimana adanya
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan tidak sedikit pihak wanita yang
justru aktif memilih calon pendamping hidupnya. Karena banyak perempuan yang
tidak mempunyai waktu untuk berkenalan dengan lawan jenis karena alasan
kesibukan kerja maupun alasan lainnya.
Dengan adanya nadhor
seseorang dapat menggali hal-hal yang tersembunyi dari si calon, tidak hanya kecantikan
atau ketampanan rupa saja. Namun untuk hal itu diperlukan pengalaman membaca
karakter orang dan ketajaman batin untuk menggali hal-hal yang tersembunyi dari
si calon. Karena sesungguhnya bentuk dan penempilan seseorang sesungguhnya
memancarkan sikap dan perilaku yang bersangkutan. Misalnya apakah dia berasal
dari keluarga yang berkecukupan atau kekurangan. Senang tampil glamour ataukah
sederhana. Apakah dia pemalas atau rajin, berjiwa optimis atau pesimis. Rajin
beribadah atau tidak pun bisa terpancar dari aura wajahnya. Dan hal-hal
tersembunyi lainnya. Meskipun hal tersebut barangkali tidak seratus persen
benar, dan sangat subyektif, namun setidaknya dengan nadhor bisa
mengetahui kekurangan dan kelebihan si calon dari awal, dan tidak menyesal
dikemudian hari. Dengan demikian timbul kemantapan untuk menikahi atau bersedia
dinikahi. Hal itulah hikmah diperbolehkan dan diperlukannya nadhor. Wallahu a’lam
bis-shawab.
*Penggalan artikel ini pernah dimuat di Majalah Perkawinan dan Keluarga, BP4 Pusat, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar