"Melayani dengan Baik, Profesional dan Akuntabel" Kritik, saran, dan pertanyaan bisa lewat email sungkaijaya01@gmail.com / Facebook KUA Sungkai Jaya
Pelayanan pada KUA Sungkai Jaya meliputi Bimbingan Perkawinan, Pencatatan Nikah, Rekomendasi Nikah, Keterangan Belum Menikah, Rekomendasi Haji, Keterangan Mahrom, Duplikat Buku Nikah, Legalisasi Buku Nikah, Pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW), Sertifikat Mualaf, Konsultasi Masalah Keluarga, SK Pengurus Masjid dan masalah keagamaan lainnya.

Rabu, 01 Maret 2017

Mengapa Harus Nadhor?

Ilustrasi: Pasangan calon pengantin
Oleh Amirul Huda
Penghulu Pertama KUA Sungkai Jaya


SALING tertarik antar lawan jenis adalah fitrah manusia. Ketika sudah sama-sama memiliki ketertarikan, jalan untuk mewujudkan kehidupan bersamanya adalah dengan menikah. Dan sebelum menikah biasanya laki-laki dan perempuan mencoba saling mengenal satu sama lain. Salah satu caranya yakni dengan melihat si calon alias nadhor. Dimasa sekarang dimana interaksi dan pergaulan  laki-laki dan perempuan sudah semakin terbuka, masih perlukah nadhor?
          Dari beberapa diskusi tentang masalah pernikahan, pertanyaan tentang nadhor masih sering muncul, masihkah relevan dengan kondisi saat ini ataukah tidak. Apakah nadhor hanya berlaku bagi laki-laki saja atau juga berlaku bagi perempuan? Penulis tertarik mengulas topik yang satu ini.

     Dalam ajaran Islam, seorang laki-laki yang ingin mengkhitbah atau melamar diperkenankan nadhor. Nadhor yaitu melihat, memandang atau memperhatikan (wanita) yang ingin dinikahi, dengan kepalanya sendiri maupun dengan menyuruh orang lain. Dengan proses nadhor diharapkan timbul keyakinan untuk melanjutkan atau justru membatalkan untuk menikahinya. Karena dengan nadhor akan terlihat bentuk fisiknya, kecantikan, kehalusan atau postur tubuhnya, termasuk hal-hal non fisik dari kedua belah pihak.
           Dalil diperbolehkannya nadhor adalah hadits dari Rasulullah saw:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أنّهُ خَطَبَ امْرَأةً فقَالَ النّبىُّ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمْ اُنَظُرْ إلَيْهَا فَإنَهُ أحْرَى أنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُماَ
Artinya: “Dari Mughiroh bin Syu’bah bahwasanya ia telah mengkhitbah seorang perempuan, lantas Nabi saw.berbersabda, “Lihatlah perempuan tersebut, karena sesungguhnya itu akan dapat lebih mempererat diantara kalian berdua.” (HR. Ahmad).

Jelas sekali dari hadits di atas, seseorang yang berkeinginan serius menikah diperintahkan untuk melihat calonnya. Agar jelas orangnya juga kondisinya. Dengan adanya kejelasan tersebut diharapkan tidak timbul keraguan, melainkan muncul kemantapan hati. Tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Pendapat Ulama Mazhab tentang Nadhor
            Sebagian besar ulama dari empat mazhab berpendapat hukum dari nadhor adalah sunnah. Sebagian lainnya berpendapat mubah, boleh saja.
Mazhab yang mengatakan sunnah adalah mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah (Hambali). Dasar dari kesunnahannya adalah dari hadits Mughirah di atas. Sedangkan secara resmi mazhab Hambali berpendapat hukumnya boleh saja. Alasannya karena menurut mereka perintah untuk melihat diberikan setelah adanya larangan, sehingga perintah itu bukan menjadi sunnah, melainkan hanya kebolehan. Seperti halnya perintah untuk mencari rizki seusai sholat jum’at, walaupun shighat-nya dalam bentuk fi’il amar yang seharusnya menjadi kewajiban, tetapi karena perintah itu datang setelah adanya larangan, maka hukumnya bukan wajib, melainkan boleh.
            Meskipun disunnahkan atau setidaknya diperbolehkan melihat calon istri (atau calon suami), namun bukan berarti boleh melihat calon dengan leluasa. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan ketika nadhor, yaitu:
1.      Adanya niat ingin menikahi.
Ketentuan melihat si calon hanya bagi yang berniat ingin menikahinya saja. Sedang yang sekadar iseng atau belum ada keseriusan di dalam hati untuk menikahinya, maka dilarang untuk melihat. Bahkan jumhur ulama mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan bahwa orang yang melihat calonnya sudah punya keyakinan bahwa ia pun akan menerimanya.
            Sementara mazhab Hanafiyah tidak mensyaratkan hal tersebut. Mereka hanya membatasi adanya keinginan (serius) untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal balik antara keduanya.
2.      Tidak harus seizin calonnya.
            Tidak ada ketentuan bahwa si calon yang akan dilihat harus memberi izin. Demikian pendapat jumhur ulama. Bahkan kebanyakan ulama berpandangan sebaiknya dalam melakukan nadhor si calon tidak diberitahu. Hal itu dimaksudkan agar benar-benar tampil alami dimata yang melihat, sehingga tidak ditutup-tutupi kalau ada kekurangannya. Sebab kalau dirinya tahu bahwa akan dilihat, kemungkinan dia akan berdandan, mempercantik diri, bersikap manis, serta menutupi kekurangannya, sehingga tujuan dari nadhor tidak tercapai.
            Mazhab Malikiyah berpendapat, kalaupun tidak harus ada izin dari wanita yang akan dilihat, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu bertujuan agar jangan sampai setiap laki-laki memandang wanita-wanita dengan bebas dengan alasan ingin melamarnya.
Batasan dalam Nadhor
Dalam melihat calon, ada batasan-batasan yang boleh dilihat dan mana yang tidak boleh dilihat.
1.      Bagian tubuh yang boleh dilihat.
Jumhur ulama mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanafiyah sepakat bahwa wajah, kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan adalah batasan yang boleh dilihat oleh calon suaminya. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka merupakan pusat dari kecantikan seseorang, sedangkan telapak tangan bisa menandakan kesuburan badannya dan kehalusan kulitnya. Selain itu kedua bagian tubuh tersebut bukan aurat.
            Bagian tubuh selain keduanya adalah aurat bagi wanita, sehingga melihat selain dua bagian tersebut tetap diharamkan bagi calon suami. Namun ada pendapat dari mazhab Hanafiyah yang menyebutkan bahwa kedua kaki hingga batas mata kaki bukan termasuk aurat, sehingga boleh dilihat.
Adapun pengikut mazhab Hambali memiliki dua pendapat. Sebagian ada yang megatakan hanya wajah dan telapak tangan yang boleh dilihat. Namun sebagian yang lain membolehkan melihat lebih dari itu, yaitu 6 (enam) anggota tubuh yang lain. Diantaranya wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Karena menurut mereka melihat bagian yang enam itu merupakan kebutuhan yang mendukung berlangsungnya kemantapan hati untuk menuju pernikahan.
Pendapat yang kurang populer dan cenderung kontroversial dikemukakan oleh mazhab Al-Auza’i, dimana mereka membolehkan melihat bagian-bagian tubuh lain yang berdaging. Dan dibolehkan melihat keseluruh badan (kecuali aurat utama) dari calon istri adalah pandangan yang dilontarkan mazhab Zahiri.
Kedua pendapat diatas berdasarkan hadis Nabi yang tidak menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمْ إذَا خَطَبَ أحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ
 أنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إلَى مَا يَدْعُوْهُ إلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه احمد)
“Dari Jabir berkata; bahwa Rasulullah pernah bersabda, Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, maka bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya yang dapat mendorong untuk menikahinya hendaklah ia melakukannya”. (HR. Ahmad)
           
Kalimat “bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya” dan “hendaklah ia melakukannya [melihat perempuan itu]” menurut mereka bersifat mutlak.
     2. Tidak boleh menyentuh kulit
            Hal lain yang harus diperhatikan ketika nadhor adalah tidak boleh menyentuh kulit calon istri meskipun dalam rangka untuk menikahinya. Jumhur ulama mengharamkannya. Mazhab Hanafiyah mengatakan tidak boleh seorang laki-laki menyentuh wajah dan telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat. Mazhab Hambali memperbolehkan menyentuh (berjabat tangan) jika umurnya sudah tidak muda lagi, sedangkan jika masih muda maka diharamkan. Adapun menurut mazhab Syafi’iyah sama seperti hukum menyentuh kulit pada umumnya, calon suami tidak boleh menyentuh kulit si calon istri.
  1. Tidak boleh berduaan
Meskipun dianjurkan untuk melihat calon istri, namun tetap dilarang untuk melakukannya hanya berduaan. Sebab berduaan dengan wanita yang masih belum halal menjadi istri adalah perbuatan yang diharamkan.
  1. Boleh mengirim utusan untuk melihat calon istri
Melihat bagian tubuh dan menyentuhnya secara langsung memanglah diharamkan, namun jika ragu dan ingin memastikan tidak ada yang cacat atau ada kekurangan yang kurang disukai maka boleh mengirim utusan atau perwakilan. Pihak suami boleh mengutus wanita yang menjadi mahramnya kepada calon istrinya untuk berkenalan dan mengetahui langsung fisik maupun non-fisiknya.
Konon Rasullah saw pun melakukan hal yang sama ketika akan menikahi salah seorang istrinya. Beliau mengutus Ummu Sulaim dan meminta serta menilai calon istrinya. Rasulullah saw berpesan:
شُمِّي عَوَارِضَهَا وَاْنظُرِي إلَى عُرْقُوْبِهَا
Ciumlah aroma mulutnya dan perhatikan urqubnya (tulang lunak diatas tumit atau betisnya).” (HR.Ahmad).

          Itulah beberapa ketentuan dalam nadhor yang terdapat dalam kitab-kitab fikih.
Dalam kondisi saat ini dimana pergaulan sudah sangat terbuka, antara laki-laki dan wanita bisa saling melihat dalam aktivitas sehari-hari masihkah relevankah nadhor? Tentu saja masih. Sebab melihat lawan jenis tanpa tujuan dan melihat dengan tujuan serius menikahi memiliki perasaan dan kondisi yang berbeda. Dengan nadhor seseorang yang awalnya ragu-ragu bisa menjadi mantap hati, pun sebaliknya, yang sebelumnya yakin ingin menikahi setelah nadhor tuidak sedikit yang menjadi ragu bahkan mundur membatalkan diri.  
Nadhor sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi laki-laki saja, seorang perempuan pun boleh melakukan nadhor. Apalagi dimasa sekarang, dimana adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan tidak sedikit pihak wanita yang justru aktif memilih calon pendamping hidupnya. Karena banyak perempuan yang tidak mempunyai waktu untuk berkenalan dengan lawan jenis karena alasan kesibukan kerja maupun alasan lainnya.
Dengan adanya nadhor seseorang dapat menggali hal-hal yang tersembunyi dari si calon, tidak hanya kecantikan atau ketampanan rupa saja. Namun untuk hal itu diperlukan pengalaman membaca karakter orang dan ketajaman batin untuk menggali hal-hal yang tersembunyi dari si calon. Karena sesungguhnya bentuk dan penempilan seseorang sesungguhnya memancarkan sikap dan perilaku yang bersangkutan. Misalnya apakah dia berasal dari keluarga yang berkecukupan atau kekurangan. Senang tampil glamour ataukah sederhana. Apakah dia pemalas atau rajin, berjiwa optimis atau pesimis. Rajin beribadah atau tidak pun bisa terpancar dari aura wajahnya. Dan hal-hal tersembunyi lainnya. Meskipun hal tersebut barangkali tidak seratus persen benar, dan sangat subyektif, namun setidaknya dengan nadhor bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan si calon dari awal, dan tidak menyesal dikemudian hari. Dengan demikian timbul kemantapan untuk menikahi atau bersedia dinikahi. Hal itulah hikmah diperbolehkan dan diperlukannya nadhorWallahu a’lam bis-shawab.

*Penggalan artikel ini pernah dimuat di Majalah Perkawinan dan Keluarga, BP4 Pusat, 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar