Ilustrasi: Tribunnews.com |
اَلْحَمْدُ لِلهِ الدي . نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ . وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا أَمَّابَعْدُهُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَي اللهِ . اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.بسم الله الرحمن الرحيمِ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Jamaah jumat rahimakumullah. Tahun ini setidaknya kita mendapatkan dua kabar duka dari saudara-saudara kita yang terkena gempa di Lombok dan Gempa-Tsunami di Sulewesi Tengah, tepatnya di Palu, Donggala dan sekitarnya. Maka mari kita berdoa semoga mereka cepat mendapat pemulihan, dan akan lebih baik kalau kita bisa membantu mereka dengan harta atau apapun yang diperlukan oleh mereka. Selain itu setiap kali kita mendengar kabar duka atau musibah, janganlah kita mudah berprasangka buruk kepada korban gempa. Misalnya kita mengatakan mereka ditimpa bencana pasti karena mereka melakukan banyak kemaksiatan dan sebagainya, karena itu kemudian Allah memberi adzab kepada mereka. Padahal urusan ghaib semacam itu hanya Allah yang tahu, bisa benar bisa juga tidak. Maka jangan mudah mengatakan bahwa musibah yang menimpa orang lain adalah sebagai hukuman dari-Nya. Dan jangan menganggap kebebasan kita dari musibah adalah bukti bahwa kita orang baik yang sedikit dosa dan kesalahan. Boleh jadi—seperti sabda Nabi—orang yang sedang mendapat musibah adalah orang-orang yang justru dicintai-Nya dan akan diangkat derajatnya. Wallahu a'lam.Maka ketika ada musibah yang menimpa kita, kita segera instrospeksi diri, jangan-jangan selama ini kita banyak melakukan dosa dan kesalahan. Tetapi sebaliknya, jika musibah terjadi pada orang lain seperti yang terjadi di Lombok dan Sulawesi, alangkah baiknya kita menjaga lisan kita untuk tidak gampang menuduh dengan prasangka yang negatif kepada korban gempa, tsunami ataupun musibah lainnya. Karena kita sebagai orang yang beriman diperintahkan oleh Allah untuk tidak mudah su’udzan, berprasangka buruk, baik berprasangka buruk kepada orang lain, maupun berprasangka buruk kepada Allah. Karena prasangka buruk ini selain bisa merusak ketenangan jiwa, bisa mengakibatkan saling curiga dan tidak percaya, bisa merusak keharmonisan antar sesama, kita diperintahkan menjauhi prasangka juga karena berprasangka buruk adalah termasuk perbuatan dosa. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Alhujurat: 12).
Prasangka yang dimaksud dalam ayat ini tentu maksudnya adalah prasangka buruk. Untuk itu kita harus berhati-hati tidak gampang berprasangka buruk dan harus selalu berprasangka baik dalam segala situasi dan kondisi, termasuk kepada saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah gempa dan tsunami.
Jamaah jumat rahimakumullah. Tentang sikap menjauhi prasangka buruk, kita bisa belajar dari sosok Thalhah bin Abdurrahman bin Auf. Thalhah adalah orang kaya dan paling dermawan pada masanya. Hampir setiap hari para sahabat datang bersilaturrahmi ke rumah Thalhah. Dan siapapun yang hadir, Thalhah pun selalau menjamu mereka, bahkan memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkan. Maklum saja karena beliau adalah orang yang kaya. Tetapi ketika Thalhah menjadi miskin dan hartanya habis, sahabat-sahabat yang dulu sering datang bertamu kini tak pernah lagi datang, bahkan seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
Melihat kenyataan iti, suatu hari istrinya berkata kepada Thalhah. “Aku tidak melihat kaum yang lebih buruk daripada sahabat-sahabatmu.” Mendengar ucapan sang istri, Thalhah pun terkejut. Dia pun bertanya, “mengapa engkau berkata demikian?”. Istrinya menjawab dan memberikan alasan, “karena ketika engkau masih kaya, setiap hari sahabatmu datang bersilaturrahmi ke rumah ini. Dan ketika engkau miskin, tak seorang pun sahabatmu datang kesini. Bahkan mengenalmu pun, seolah-olah tidak”.
Mendengar alasan sang istri, Thalhah pun paham maksud istrinya, tetapi segera meluruskan. Kata Thalhah, “wahai istriku, aku punya pendapat lain. Justru mereka adalah sahabat-sahabatku yang baik. Karena Mereka datang bersilaturrahmi ke rumah kita ketika kita mampu menjamu dan membantu mereka. Dan ketika kita miskin, mereka tidak datang ke rumah kita mungkin karena mereka paham dan tidak ingin membebani kita dengan jamuan-jamuan.”
Jamaah jumat Rahimakumullah. Sikap yang ditunjukkan oleh Thalhah sungguh suatu karakter yang luar biasa. Ia tetap berprasangka baik, disaat orang lain banyak yang berprasangka buruk, termasuk istrinya. Orang lain menganggap para sahabat Thalhah yang dulu pada saat ia kaya sering bersilaturahmi, sedangkan saat ia miskin tidak pernah datang lagi dianggap sebagai sikap yang tidak baik, tetapi oleh Thalah ketidakhadiran para sahabatnya saat ia jatuh miskin sebagai suatu kebaikan. Sebuah sikap yang mungkin bagi orang lain dianggap sebagai suatu penghianatan, sikap tidak mau berterimakasih, suatu sikap yang habis manis sepah dibuang, tetapi bagi Thalhah dianggap sebagai suatu kesetiaan dalam bentuk yang lain dari sahabat-sahabatnya. Inilah salah satu contoh karakter orang-orang mulia, karakter orang-orang yang baik. Karena orang yang baik itu tidak melihat sesuatu kecuali yang dilihat itu adalah kebaikan.
اَلْخَيْرُ لَايَرَى شَيْئًا إِلَّاخَيْرًا
“Orang yang baik itu tidak melihat terhadap sesuatu kecuali yang dilihat adalah sisi-sisi baiknya, atau sisi-sisi yang positif.”Jamaah jumat Rahimakumullah. Maka inilah pentingnya kita berpikir positif, berprasangka yang baik, atau husnudzon. Rasulullah bersabda:
أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ حُسْنُ ظَنِّ بِاللهِ وَحُسْنُ ظَنِّ بِعِبَادِ اللهِ
“Seutama-utama amal adalah berprasangka baik kepada Allah dan berprasangka baik kepada hamba-hamba Allah.”Jadi kita diperintahkan untuk husnudhan kepada dua hal, yaitu husnudzon billah dan husnudzon bi ‘ibadillah. Yang pertama berprasangka baik kepada Allah. Karena di dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ
“Aku (kata Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap Aku.”Maksudnya ialah ketika kita berprasangka baik kepada Allah, maka Allah pun membenarkan dan bisa mewujudkan kebaikan-kebaikan sesuai prasangka kita. Tetapi sebaliknya, ketika seorang kita itu su’udzon, berprasangka buruk kepada Allah, maka Allah pun membenarkan dan bisa mewujudkan keburukan-keburukan sesuai prasangka kita tersebut. Misalnya kita berprasangka buruk kepada Allah karena merasa Allah tidak mengabulkan do’a-doa kita, merasa Allah tidak adil atau merasa kita sering ditimpa banyak kesusahan dibandingkan diberikan kesenangan.
Maka sudah selayaknya kita itu selalu husnudzon. Selalu berprasangka baik, agar kebaikan-kebaikan yang ada dalam prasangka kita itu diwujudkan dan direalisasikan oleh Allah Swt. karena kita tidak tahu, terkadang apa yang kita benci justru itu adalah kebaikan. Sebaliknya, apa yang kita cintai justru adalah suatu keburukan. Allah berfirman:
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal sesuatu itu baik bagi kamu. Dan boleh jadi pula, kamu mencintai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagi kamu. Dan Allah Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Albaqarah: 216).Artinya, ketika kita tidak mengetahui kehendak Allah, maka sudah sepantasnya kita selalu berprasangka baik husnudzon kepada Allah Swt.
Yang kedua jamaah jumat rahimakumullah, kita diperintahkan husnudzon bi‘ibadillah. Berprasangka baik terhadap hamba-hamba Allah. Seperti kisah yang dilakukan oleh Thalhah tadi. Mungkin dalam kehidupan kita ini sering diperlakukan dengan perlakuan yang tidak menyenangkan. Sehingga membuat kita menjadi benci, jengkel dan sakit hati. Hingga akhirnya, prasangka kita terhadap orang lain pun sesuai dengan perbuatannya. Kalau orang berbuat baik, maka kita husnudzon. Sebaliknya, ketika orang berbuat tidak baik, lalu kita pun su’udzon berprasangka yang tidak baik pula.
Orang yang senantiasa berpikir positif atau husnudzon, maka insya Allah kehidupannya akan diiringi kebaikan-kebaikan pula. Hidupnya pun akan menjadi tenang karena segala sesuatunya diserahkan kepada Allah Yang Maha Tahu. Sebaliknya, orang yang dipenuhi oleh suudzon atau berpikiran negatif, maka hidupnya akan dipenuhi ketidaktenangan pula. Karena ia akan selalu memikirkan keburukan-keburukan keburukan teman-temannya, keburukan tetangganya dan keburukan orang lain.
Oleh karena itu, dimanapun dan kapanpun kita upayakan untuk selalu membersihkan hati dan pikiran kita dari pikiran-pikiran yang tidak baik agar hati dan hidup kita tenang, selalu syukur dan semata-mata mendapatkan ridha dari Allah swt.
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bermanfaat, khususnya bagi diri saya sendiri dan umumnya bagi para jamaah.
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ وَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَها. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَاسْتَغْفِرُوْا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Oleh Amirul Huda/dari pelbagai sumber
Oleh Amirul Huda/dari pelbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar