"Melayani dengan Baik, Profesional dan Akuntabel" Kritik, saran, dan pertanyaan bisa lewat email sungkaijaya01@gmail.com / Facebook KUA Sungkai Jaya
Pelayanan pada KUA Sungkai Jaya meliputi Bimbingan Perkawinan, Pencatatan Nikah, Rekomendasi Nikah, Keterangan Belum Menikah, Rekomendasi Haji, Keterangan Mahrom, Duplikat Buku Nikah, Legalisasi Buku Nikah, Pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW), Sertifikat Mualaf, Konsultasi Masalah Keluarga, SK Pengurus Masjid dan masalah keagamaan lainnya.

Rabu, 07 Agustus 2019

Hai Laki-Laki, Jangan Asal Dekati Janda, Perhatikan Hal-Hal Ini



“KUTUNGGU Jandamu,” demikian istilah yang dulu populer diucapkan oleh seseorang yang ditinggal wanita yang disukainya, tapi sudah menikah dengan laki-laki lain, sementara ia masih terus berharap bisa bersama dengan wanita pujaannya. Tulisan “Kutunggu Jandamu” bahkan sering terlihat dan menghiasi di belakang truk. Menunggu dan berharap boleh-boleh saja, tapi perhatikan hal-hal berikut ini, karena ada kewajiban bagi janda yang baru putus ikatan rumahtangganya baik karena perceraian maupun karena ditinggal mati suaminya. Kewajiban tersebut berupa iddah, yakni masa menunggu. Masa menunggu janda yang diceraikan suaminya adalah 90 hari, sedangkan janda yang tinggal mati suaminya masa iddahnya 130 hari atau 4 bulan 10 hari. Selama masa menunggu seorang janda dilarang untuk:

Pertama, dilarang keluar rumah. Wanita yang sedang iddah dilarang keluar rumah (mulazamtus sakan), terutama untuk janda yang ditalak raj’i (boleh dirujuk). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari fitnah atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Dalilnya adalah QS. Attalaq ayat 1. “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah para wanita itu keluar dari rumah.” Keluar rumah diperbolehkan apabila ada hal-hal yang urgen, mendesak atau darurat seperti karena bekerja atau karena mencari nafkah. Janda karena ditalak ba'in menurut Mazhab Syafi’iyah, Malakiyah dan Hanabilah diperolehkan keluar rumah, setidak-tidaknya pada siang harinya.

Jadi apa yang melatarbelakangi boleh dan tidaknya keluar rumah? Menurut beberapa ulama kuncinya adalah masalah nafkah. Jika tidak ada yang memebri nafkah untuk menyambung hidup maka boleh keluar rumah. Namun jika masih ada yang memberi nafkah (karena talak raj’i misalnya), atau jika janda tersebut kaya, berkecukupan dan bisa memenuhi keperluan dirinya tanpa harus keluar rumah, maka larangan keluar rumah tetap berlaku.

Kedua, dilarang untuk berhias. Janda yang masih dalam masa iddah diperintahkan untuk ber-ihdad (menanggalkan perhiasan dan menghindari memakai wewangian). Kategori berhias yang dilarang antara lain memakai emas, perak, berlian, sutra dan barang mahal lainnya. Kemudian parfum atau wewangian, celak mata, pewarna kuku dan aksesoris lainnya. Larangan berhias yang berlebihan ini agar tidak terkesan seperti sengaja menggoda laki-laki lain atau terkesan si janda seolah tidak bersedih dan tidak berempati setelah berpisah dengan suaminya, terutama apabila suaminya meninggal dunia.

Ketiga, dilarang menerima lamaran. Poin ketiga ini sangat penting untuk diperhatikan, yakni saat menjalanai masa iddah, laki-laki dilarang melamar si janda, begitupun si janda dilarang menerima lamaran. Dasar hukumnya adalah QS. Albaqarah ayat 235. “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali dengan mengucapkan kata-kata yang bai. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.

Apabila ada laki-laki yang tertarik dengan seorang janda, maka ia boleh mengutarakannya dengan sindiran, kiasan atau gaya bahasa (majas) yang lebih halus. Misalnya mengatakan, “Mbak tambah cantik aja lho sekarang.” Atau “Udah mbak jangan sedih, tenang aja, kalau ada apa-apa saya siap membantu.” Bisa juga dengan gombalan lainnya yang menjurus atau menunjukan ketertarikan kepada si janda. Jika si janda tertarik, ia bisa menjawab dengan kalimat tersirat, misalnya, “Tenang wae sih mas, asal sabar aja.” Atau pakai kalimat lain “Iya mas ganteng, santai aja.” Tetapi kalau memakai kalimat langsung dan terang-terangan tidak diperbolehkan. Misalnya, “Aku sudah lama suka kamu lho mbak, besok aku ke rumah ya, saya mau melamarmu.” Atau “Mbak mau nggak nikah sama aku, kalau mau langsung aku lamar nih.” Nah, yang seperti itu tidak boleh.

Keempat, tentu saja dilarang menikah. Sekadar menerima lamaran saja dilarang apalagi melakukan pernikahan. Si janda harus benar-benar menjalani masa iddahnya sampai habis. Jika pernikahan tetap dilakukan sedangkan si janda masih dalam masa iddah, maka pernikahannya hukumnya haram dan tidak sah. Jika pernikahan semacam ini dihadiri dan dicatat oleh pegawai pencatat nikah yang resmi (Penghulu), maka si penghulu selain sudah melakukan sesuatu yang haram juga telah melakukan pelanggaran berat, yakni melanggar peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Larangan melakukan pernikahan ini sifatnya mutlak, jadi tidak bisa disiasati—karena masa iddah belum habis tapi kurang satu minggu lagi—misalnya tetap melakukan pernikahan, kemudian melakukan hubungan seksualnya nunggu sampai masa iddah bener-benar habis. Melakukan pernikahan selama masa iddah dilarang, terlepas langsung melakukan hubungan seksual sesudah ijab kabul mapun menundanya.

Terakhir yang harus diperhatikan, menghitung masa iddah janda akibat kematian dihitung dari hari kematian si suami. Sedangkan masa iddah akibat perceraian dimulai dari tanggal putusan hakim Pengadilan Agama yang tertera di Akte Cerai.[] Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar